Serangan udara Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran belum lama ini langsung memicu reaksi keras dari Korea Utara. Beberapa pakar keamanan di Korea Selatan memperingatkan bahwa insiden ini kemungkinan akan memperkuat keyakinan Pyongyang bahwa senjata nuklir adalah satu-satunya jaminan keberlangsungan rezim mereka. Situasi ini bahkan diperkirakan bisa mendorong Korea Utara mempercepat pengembangan program senjata nuklirnya.
Presiden AS mengumumkan telah melakukan serangan presisi ke tiga fasilitas utama nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan. Langkah tersebut menjadi eskalasi besar dalam ketegangan di Timur Tengah, terlebih karena ini merupakan serangan ofensif langsung pertama AS ke fasilitas strategis Iran. Imbasnya, dinamika geopolitik global pun langsung bergejolak.
Di Korea Utara, serangan ini dianggap sebagai bukti bahwa negara-negara tanpa kekuatan nuklir rentan jadi target serangan sepihak. Jeong Seong-jang dari Sejong Institute menyebut Pyongyang pasti melihat keputusan AS menyerang Iran sebagai pembenaran atas kebijakan nuklir mereka selama ini. “Mereka akan berpikir, inilah alasan kenapa kita harus punya senjata nuklir,” ujarnya.
Kementerian Luar Negeri Korea Utara pun mengecam keras serangan tersebut. Dalam pernyataannya, mereka menuduh AS telah melanggar Piagam PBB dan hukum internasional, serta kembali mempertontonkan arogansi globalnya. Kritik itu disampaikan melalui Kantor Berita Pusat Korea, KCNA, yang menyebut tindakan AS sebagai bentuk intervensi terang-terangan terhadap kedaulatan negara lain.
Sejak awal tahun ini, Kim Jong Un memang terus memperkuat program nuklirnya. Ia menyatakan bahwa konfrontasi dengan negara-negara “musuh paling keji” tidak bisa dihindari, tanpa secara langsung menyebut AS dan Korea Selatan. Namun publik dunia memahami siapa yang dimaksud pemimpin Korea Utara itu.
Pakar militer memperkirakan bahwa Pyongyang kini akan mempercepat pengembangan kapal selam nuklir dan rudal jarak jauh demi memastikan kemampuan ‘second-strike’ atau balasan nuklir setelah serangan awal. Hal itu dianggap penting agar Korea Utara tidak bisa dilumpuhkan dalam satu serangan pre-emptive seperti Iran.
Profesor Nam Seong-wook dari Sookmyung Women’s University menyebut Kim Jong Un kemungkinan besar sudah memerintahkan relokasi dan penyamaran fasilitas nuklirnya, serta penguatan sistem pertahanan udara. Semua langkah itu dilakukan demi memastikan aset strategisnya aman dari serangan mendadak.
Selain itu, insiden di Iran ini diyakini akan dijadikan dalih oleh Korea Utara untuk mempertebal propaganda anti-AS dan memperkuat legitimasi kepemimpinan Kim Jong Un di dalam negeri. Isu ancaman asing kerap jadi alat pengendali domestik di negara itu sejak lama.
Kim Dong-yeop, profesor dari University of North Korean Studies, menyatakan bahwa serangan ke Iran akan membuat Pyongyang sepenuhnya menolak segala tawaran perundingan denuklirisasi. Menurutnya, Korea Utara kini benar-benar percaya bahwa hanya senjata nuklir yang bisa menjamin kelangsungan rezim.
Di masa pemerintahan sebelumnya, Donald Trump sempat melakukan tiga kali pertemuan bersejarah dengan Kim Jong Un. Namun, meski sempat menebar optimisme, semua perundingan itu berakhir tanpa hasil nyata. Korea Utara tetap melanjutkan program nuklir dan rudal balistik antarbenuanya.
Data dari Stockholm International Peace Research Institute menyebut saat ini Korea Utara diperkirakan telah memiliki sekitar 50 hulu ledak nuklir aktif, dan cukup bahan baku fisil untuk membuat 40 hulu ledak tambahan. Produksi bahan fisil baru pun terus dipercepat.
Awal tahun ini, Pyongyang kembali menegaskan bahwa mereka tidak berniat sedikit pun menghentikan program nuklirnya. Pernyataan tegas itu semakin menegaskan bahwa denuklirisasi hanya akan menjadi impian kosong di tengah kondisi geopolitik yang kian memanas.
Para pengamat meyakini, insiden Iran ini akan membuat Korea Utara semakin keras menolak diplomasi AS. Setiap upaya dialog dipandang sebagai jebakan atau bentuk pelemahan strategis yang suatu saat bisa berujung pada serangan militer mendadak.
Tak hanya itu, Korea Utara kemungkinan juga akan memanfaatkan ketegangan ini untuk mengkritik keras aliansi keamanan AS, Korea Selatan, dan Jepang. Propaganda anti-koalisi diprediksi akan semakin masif dalam beberapa pekan ke depan.
Situasi ini memperburuk prospek perdamaian di Semenanjung Korea. Harapan akan diplomasi atau pengendalian senjata di kawasan itu kian redup seiring meningkatnya ketegangan global dan sikap defensif Korea Utara.
Dengan ketegangan yang makin tinggi, banyak pihak khawatir situasi bisa memicu perlombaan senjata baru di Asia Timur. Jepang dan Korea Selatan, yang selama ini berada di bawah payung nuklir AS, mungkin akan terdorong meningkatkan sistem pertahanan mereka.
Dalam kondisi ini, dunia internasional dihadapkan pada dilema besar. Di satu sisi, kejahatan geopolitik tak bisa dibiarkan. Tapi di sisi lain, serangan seperti ke Iran justru memperkuat dalih negara-negara seperti Korea Utara untuk tetap memegang senjata pemusnah massal.
Korea Utara seolah mendapat pembenaran bahwa menyerah tanpa jaminan keamanan nyata hanya akan mempercepat kehancuran mereka. Dalam pandangan Pyongyang, sejarah Irak, Libya, dan kini Iran, adalah bukti nyata risiko melepas senjata nuklir.
0 Komentar